Selasa, 31 Januari 2023

Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra

                                                                                

PEMBAHASAN

 

A.           Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra

Mulyasa (2003: 100) menyatakan pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara pembelajar dan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan kelas. Dengan kata lain adalah memilih model atau strategi pembelajaran untuk menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi siswa.Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan (judgment), arti penting atau suatu objek. Tujuannya agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ke ranah rasa (affective skill) yang dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu.

Apresiasi dari bahasa Inggris appreciation artinya ‘penghargaan’
Apresiasi mengacu pada pengertian, pemahaman, dan pengenalan yang tepat, atau pertimbangan dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti, 2000:3). Apresiasi adalah kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi, 1973). Apresiasi sastra: upaya memahami karya sastra untuk dapat mengerti sebuah karya sastra yang kita baca, baik prosa maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang intensional maupun yang aktual, dengan cara mengerti seluk beluknya.  Tahapan atau langkah untuk memahami karya sastra meliputi interpretasi, analisis, dan evaluasi.

Pembelajaran apresiasi sastra meliputi pembelajaran apresiasi puisi, prosa, dan drama. Ada beberapa prinsip dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pembelajaran sastra berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada budaya bangsa, (2) Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan pengayaan daya estetis melalui bahasa, (3) Pembelajaran apresiasi sastra bukan pelajaran sejarah, aliran, dan teori sastra, dan (4) Pembelajaran apresiasi sastra adalah pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan di dalam karya yang dapat dikaitkan dengan nilai kemanusiaan di dalam dunia nyata.

B.            Hakikat Teknik Pembelajaran

Teknik adalah cara konkret yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung. Guru dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama. Dalam menerapkan suatu metode pembelajaran, setiap guru memiliki teknik yang berbeda-beda. Subana dan Sunarti (2000:20) menyatakan bahwa teknik adalah daya upaya, usaha, cara yang digunakan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Muslich dan Suyono (2010:3), teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalnya, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah peserta didik yang relatif banyakmembutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah peserta didiknya terbatas. Jadi, teknik pembelajaran adalah cara yang digunakan guru dalam kelas untuk mengimplementasikan metode pembelajaran. Penggunaan teknik pada kelas tertentu akan berbeda dengan kelas lainnya meskipun metodenya sama. Penggunaan teknik pembelajaran harus disesuaikan dengan keadaan siswa dan sekolah.

Mohamad (2011:7) menyatakan bahwa teknik pembelajaran adalah jalan, alat atau media yang digunakan oleh guru untuk mengarahkan kegiatan peserta didik ke arah tujuan yang diinginkan atau dicapai. Dengan kata lain teknik adalah cara yang digunakan dan bersifat implementatif. Menurut Trianto (2011:52) model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang dapat digunakan untuk mendesain pola-pola mengajar secara tatap muka di dalam kelas dan untuk menentukan material/perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film-film, program-program media komputer. Dapat disimpulkan bahwa teknik sama dengan model yang berarti penggunaan perangkat/alat/media untuk mencapai tujuan pembelajaran.

C.           Berbagai Teknik Pembelajaran Apresiasi Sastra

 

1.       1. Teknik Induksi

Suatu teknik harus konsisten dengan metode dan sesuai pula dengan pendekatannya. Teknik berkaitan dengan strategi yang benar-benar terjadi di ruang kelas (Anthony, 1963; Baradja, 1985).

Suatu strategi yang efektif dan efisien akan tercipta bila strategi itu dapat dengan mudah diterapkan dan dapat menunjang prestasi belajar siswa yang memadai dan langgeng (Natawidjaja, 1983: 2). Keberartian sesuatu yang dipelajari siswa untuk dirinya sendiri itulah yang menentukan kadar kelanggengan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini peran serta aktif dari pihak siswa sendiri dalam kegiatan pembelajaran ikut berpengaruh terhadap keberartian bahan pembelajaran.

Jenis teknik belajar-mengajar dapat ditimbulkan dari metode tertentu (Broto, 1982: 23). Teknik merupakan pelaksanaan dari proses pembelajaran. Teknik biasanya ditandai dengan penggunakan alat bantu atau media tertentu yang diperlukan.

Pembelajaran sastra yang berangkat dari pendekatan apresiatif (appreciative approach) dan memilih metode imersi sebagai suatu alternatif, akhirnya menggiring kita untuk menentukan dan mengangkat satu teknik yang dirasa paling sesuai. Teknik induksi tampaknya sangat sesuai dan mendukung kegiatan ini.

Teknik induksi tidak hanya menuntut peran serta aktif siswa, tetapi lebih jauh daripada itu, mendorong dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk mendekati sendiri karya sastra, menggauli secara langsung, dan akhirnya diharapkan mampu menikmati, menghayati, dan menghargai karya sastra itu sendiri. Guru hanya bersifat merangsang, memancing, mendorong, dan mengarahkan kegiatan itu. Yang terjadi selama ini, tampaknya para guru sastra di lapangan cukup dengan membuat siswanya paham dan mengerti karya sastra melalui penjelasan atau informasi, tanpa ada kontak langsung siswa-karya. Siswa dijejali sekian banyak teori dan sejarah sastra. Dengan demikian, siswa banyak tahu dan paham (baca: hafal) pengetahuan sastra, tetapi tidak atau kurang mampu mengapresiasi karya. Tujuan utama pembelajaran sastra masih jauh dari terpenuhi. Kegiatan macam itu jelas kegiatan yang sangat tidak apresiatif.

Teknik induksi menghendaki lain. Siswa diberi kesempatan secara langsung bergaul intim dan berdialog dengan karya. Segala sesuatu yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa dalam pergaulan dan dialog biarlah ditemukan sendiri oleh siswa. Tentu saja, hal itu tidak terlepas sama sekali dari bimbingan guru. Yang penting guru tidak bersikap menggurui dan menyuapkan sesuatu yang tinggal telan saja. Tidaklah mungkin seseorang dapat merasakan kenikmatan sesuatu hanya dengan diberitahu orang lain tanpa melakukan kontak langsung secara intim dan berdialog akrab dengan sesuatu itu sendiri.

Penamaan induksi untuk teknik ini sesungguhnya meminjam istilah dari bidang logika. Seperti diketahui, terdapat dua cara penarikan kesimpulan, yaitu logika induktif dan logika deduktif (Suriasumantri, 1984: 46). Logika induktif – yang dipakai di sini — erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sebagai suatu proses tertentu, induksi berupaya menyimpulkan pengetahuan yang ’umum’ atau universal dari pengetahuan yang ’khusus’ atau partikular (Ofm, 1983: 40). Induksi merupakan cara berpikir dengan jalan menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.

Implikasinya dalam pembelajaran sastra, seperti sudah dikemukakan terdahulu, guru bertindak membimbing dan mengarahkan siswanya agar berhasil menemukan sendiri hal-hal khusus, ciri-ciri khusus, dan seterusnya, untuk kemudian dibimbing ke arah penarikan kesimpulan yang bersifat umum tentang karya sastra itu.

Sebagai ilustrasi, mengajarkan pantun, misalnya, teknik yang cenderung selalu digunakan para guru sebagai berikut. Pertama, guru memberikan pengertian, batasan, atau definisi pantun. Berikutnya diberikanlah ciri-ciri pantun atau mengapa bentuk itu disebut pantun. Akhirnya, disajikan contoh-contoh pantun. Langkah tersebut masih ditambah lagi dengan model penyajian dikte oleh guru. Langkah tersebut sangat tidak apresiatif, sehingga hasilnya pun berupa pengetahuan hafalan belaka.

Dengan teknik induksi yang merupakan pembalikan langkah-langkah tersebut di atas, siswa diberi kesempatan langsung berhadapan, berdialog, dan menikmati karya puisi lama itu. Dengan bimbingan guru siswa diajak mampu menemukan Ietak-letak keindahannya, ciri-ciri bentuknya, yang akhirnya sampai pada penyimpulan bahwa karya puisi itu adalah pantun.

Yang juga perlu diingat bahwa pembicaraan atau pembahasan tidak boleh hanya terbatas pada unsur bentuknya saja. Yang lebih penting justru pembahasan terhadap unsur isinya. Pembicaraan dapat saja berkisar pada pokok masalah yang diungkapkan, pendapat pengarang atau penyair tentang pokok masalah tersebut, perasaan, nada bicara, amanat yang terkandung, peristiwa yang dibayangkan terjadi di belakang karya, dan seterusnya.

Dalam pelaksanaannya dapat saja teknik induksi diramu dengan teknik-teknik yang lain, umpamanya brainstorming, diskusi, dan lain-lain yang relevan. Yang tetap harus diingat, guru tidak boleh lupa pada prinsip-prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Melaksanakan CBSA berarti guru melaksanakan suatu strategi pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara matra kognitif, afektif, dan psikomotorik (Natawidjaja, 1983: 19).

2.      2. Teknik Menjawab Pertanyaan

Menjawab pertanyaan mengenai isi bacaan sering sekali dipraktekkan dalam pengajaran bahasa. Hal ini pun dapat dilakukan dalam pengajaran sastra. Salah satu cara untuk mengukur pemahaman siswa terhadap suatu karya sastra ialah melalui jawaban siswa terhadap pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan isi karya sastra tersebut.

3.      Teknik Piranti Peran

Merespon karya sastra (cerpen) siswa membuat kantong yang di dalamnya berisi piranti untuk berperan. Di dalam kantong tersebut ada berbagai macam barang/alat yang telah dipilih dan dikumpulkan oleh siswa sehubungan dengan cerpen yang dibacanya. Kantong itu sendiri dibuat dan dihiasi siswa dengan gagasan atau aspek-aspek yang terdapat dalam cerpen tersebut. Guru menjelaskan bahwa kantong tersebut merupakan kantong contoh (sampel), tidak harus mencerminkan secara lengkap seluruh isi cerpen. Misalnya, dalam cuplikan cerpen anak-anak yang berjudul “Pak Lebai yang Malang”, (dari petualangan Pak Lebai). Siswa memilih tokoh Pak Lebai. Di dalam kantongnya, siswa itu menyimpan piranti, antara lain pancing atau kail, topi, rokok, kacamata, dan lain-lain.

Tujuannya :

1.   1) Siswa dapat membuat kantong dan dihiasi sesuai dengan gagasan atau aspek yang terdapat dalam cerpen.

2.      2) Siswa dapat memerankan tokoh cerita dengan cara monolog atau dialog.

 

Alat yang digunakan adalah lembar foto kopi cerita, lembar kertas kosong. Kegiatan ini dapat dilakukan secara berpasangan atau kelompok.

Cara menerapkannya:

1.      1) Guru memberikan pejelasan pembelajaran hari itu.

2.      2) Guru membentuk kelompok kecil

3.      3) Guru membagikan lembar foto kopi cerita kepada masing-masing kelompok.

4.      4) Siswa membaca cerpen yang berjudul “Pak Lebai yang Malang”.

5.     5) Siswa berdiskusi tentang latar belakang dan isi cerpen tersebut, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan:

a.       Nilai-nilai sosial budaya

b.      Segala sesuatu yang menarik yang dapat dipetik sebagi pelajaran hidup

6.     6) Siswa menyusun naskah atau scenario untuk memerankan salah satu tokoh cerita yang disenangi (dilakukan secara kelompok 4 siswa). Melalui diskus, kelompok dapat memilih salah satu anggota sebagai pemeran. Anggota lain membantu menyiapkan pemeranan, antara lain menyiapkan piranti. Pada kegiatan ini siswa melakukan identifikasi dan analisis terhadap semua kebutuhan (piranti) untuk bemain peran.

7.      7) Siswa berlatih bemain peran dengan anggota kelompok, pemeran berlatih hingga siap tampil di depan kelas.

8.     8) Siswa bermain di depan kelas secara bergiliran, ketika salah seorang siswa bermain peran, siswa yang lain menyimak dan mengamati sambil mencatat hal-hal yang menarik dari pemeranan itu. catatan ini akan digunakan oleh siswa untuk memberikan penilaian terhadap pemeranan teman sekelasnya.

9.     9) Siswa menyampaikan tanggapan, komentar atau penilaian terhadap penampilan temannya.

1010) Guru memberikan refleksi pembelejaran hari itu.

 

    Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut, dapat dijelaskan bahwa pentingnya strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru. Hal itu dapat mengenalkan guru pada tiga gaya belajar, yaitu gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Deporter (2001: 50) menyatakan bahwa ketiga gaya belajar tersebut dapat membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar yang ada. Setelah mengenal gaya-gaya tersebut, guru telah menunjukkan kepada siswa cara berkonsentrasi, mencatat hal-hal yang efektif, belajar untuk ujian, meningkatkan kecepatan membaca, pemahaman, dan kemampuan mereka untuk menghafalkan. Hal ini terbukti selama proses pembelajaran berlangsung. Sehingga langkah-langkah tersebut dapat berpengaruh pada karir akademik dan cara mereka melihat diri sendiri bagaimana kemampuan mereka sebagi siswa yang belajar sepanjang hidup. 

FONETIK

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Tiga Jenis Fonetik

Fonetik (Inggris. phonetics, kata sifatnya phonetic, kata sifat Indonesia “fonetis”, berbeda dari “fonetik sebagai kata benda) adalah penyelidikan bunyi-bunyi bahasa, tanpa memperhatikan fungsinya untuk membedakan makna.

Fonetik ada tiga jenis:

1.      Fonetik akustis menyelidiki bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisisnya sebagai getaran udara.

2.      Fonetik auditoris adalah penyelidikan mengenai cara  penerimaan bunyi-bunyi bahasa oleh telinga.

3.      Fonetik organis menyelidiki bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan dengan alat-alat (atau “organ”) bicara (organs of speech).

Ciri-ciri khas dari masing-masing cabang fonetik tadi dapat digambarkan seperti dibawah ini:

 

 

penutur                                                                                                                                    pendengar

 

alat-alat                                               getaran-getaran udara                                     telinga dan

bicara                                       yang dihasilkan                                                           dan sistem

neurologisnya

 

FONETIK ORGANIS                       FONETIK AKUSTIS                   FONETIK AUDITORIS

(untuk sebagian besar              (untuk sebagian besar              (untuk sebagian besar

termasuk linguistik)                 termasuk fisika)                                   termasuk neurologi)

 

 

 

2

2.2  Alat-alat Bicara

Hal pertama yang perlu diuraikan dalam fonetik organis ialah alat-alat bicara:


1.      Paru-paru (lungs)

2.      Batang tenggorokan (trachea, wind pipe)

3.      Pangkal tenggorok (larynx)

4.      Pita-pita suara (vocal chords)

5.      Rongga kerongkongan (pharynx)

6.      Akar lidah (root of the tongue, medium)

7.      Pangkal lidah (back of the tongue, medium)

8.      Tengah lidah (middle of the tongue, dorsum)

9.      Daun lidah (blade of the gtongue)

10.  Ujung lidah (tip of the tongue)

11.  Anak tekak (uvula)

12.  Langit-langit lunak, langit-langit tekak (soft palate, velum)

13.  Langit-langit keras (hard palate)

14.  Lengkung kaki gigi, gusi (alveola, gums)

15.  Gigi atas (upper teeth)

16.  Gigi bawah (lower teeth)

17.  Bibir atas (upper lip)

18.  Bibir bawah (lower lip)

19.  Mulut (mouth)

20.  Rongga mulut (mouth cavity, oral cavity)

21.  Hidung (nose)

22.  Rongga hidung (nose cavity, nasal cavity)


 

2.3  Cara Bekerja Alat-alat bicara

Udara dipompakan dari paru-paru, melalui batang tenggorokan ke pangkal tenggorok yang didalamnya terdapat pita-pita suara. Pita suara itu harus terbuka untuk memungkinkan arus udara keluar melalui rongga mulut, melalui rongga hidung, atau melalui kedua-duanya; karena dalam batang tenggorokan untuk arus udara tidak ada jalan lain. Apabila udara keluar tanpa mengalami hambatan di sana-sini, kita tidak mendengar apa-apa; bunyi bahasa dihasilkan hanya bila arus udara terhalang oleh alat bicara tertentu.

3

Untuk menjelaskan fungsi pita-pita suara di bawah ini dimuat gambar keempat posisi pita-pita tersebut:

 

 

 

 

a                                         b                                                 c                           d

 terbuka lebar              terbuka agak lebar            terbuka sedikit      tertutup sama

sekali

 

a.       Posisi untuk bernafas secara normal (tidak menghasilkan bunyi bahasa).

b.      Posisi yang menghasilkan bunyi tak bersuara.

c.       Posisi yang menghasilkan bunyi bersuara.

d.      Posisi yang mengawali atau mengakhiri bunyi hamzah (glottal stop).

 

2.4  Konsonan dan Vokal

Alur sempit antara pita suara menyebabkan pita itu bergetar, dan getaran itu menyebabkan udara yang keluar bergetar pula. Maka dari itu semua vokal merupakan bunyi bersuara. Antara bahasa-bahasa di dunia jarang kita jumpai vokal yang tidak bersuara; vokal tak bersuara itu disebut vokoide (vocoid). Pengucapannya terjadi dengan cara yang dapat dibandingkan dengan pengucapan vokal bila penutur membisik.

Konsonan ada yang bersuara, yang terjadi bila ada alur sempit di antara pita suara dan ada yang tak bersuara, yang terjadi bila  tempat artikulasi yang bersangkutan sajalah yang merupakan alur sempit sedang pita suara itu terbuka agak lebar.

2.5  Beberapa Jenis Konsonan

Menurut cara mengucapkannya dapat kita bedakan konsonan sebagai berikut:

4

1.      (bunyi) letupan (plosives, stops), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghambat arus udara samasekali di tempat artikulasi tertentu secara tiba-tiba, sesudahnya alat-alat bicara di tempat artikulasi tersebut dilepaskan kembali. Bagian petama disebut “hambatan” atau “implosi” (implosion), bagian kedua disebut “letupan” atau “eksplosi” (explosion).

2.      Semua bunyi yang bukan letupan lazimnya disebut “kontinuan”(continuants). Bunyi kontinuan itu meliputi beberapa jenis, yaitu sengau, sampingan, paduan, geseran, dan aliran.

3.      (bunyi) sengau (nasals), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup arus udara ke luar melalui rongga mulut tetapi membuka jalan agar dapat keluar melalui rongga hidung.

4.      (bunyi) sampingan (laterals), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghalangi arus udara sehingga keluar melalui sebelah atau biasanya kedua sisi lidah.

5.      (bunyi) paduan atau afrikat (affricates) dihasilkan dengan menghambat arus udara di salah satu tempat artikulasi di mana juga bunyi letupan diartikulasikan, lalu dilepaskan secara “frikatif”. Artinya, eksplosinya terjadi sedemikian rupa sehingga pada tempat artikulasi suatu aluran sempit dipertahankan, hasilnya bunyi geseran sebagai bagian dari kedua dari bunyi afrikat itu.

6.      (bunyi) geseran atau frikatif (fricatives) adalah bunyi yang dihasilkan oleh alur yang amat sempit sehingga sebagian besar arus udara terhambat.

7.      (bunyi) geletar (trills), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan mengartikulasikan ujung lidah pada lengkung kaki gigi, segera melepaskannya dan segera lari mengatikulasikannya, dst. Jadi bunyi geletar adalah suatu urutan dari “letupan” apiko-alveolar yang cepat sekali, sehingga ujung lidah menggeletar melawan lengkung kaki gigi dengan waktu yang sama dalam artikulasi konsonan lain.

 

5

8.      (bunyi) alir (liquids), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan terbentuknya alur sempit antara pita-pita suara (jadi semua bunyi alir adalah konsonan bersuara) dengan tempat artikulasi sedemikian rupasehingga alur sempityang kedua tidak ada (jadi tidak ada bunyi frikatif).

9.      Bunyi kembar atau geminat (geminates), yaitu konsonan yang terjadi dengan memperpanjangkannya kalau bunyi itu sesuatu kontinuan atau dengan memperpanjang waktu antara implosi dan eksplosi dalam hal bunyi letupan.

 

2.6  Semi Vokal

“Semi-vokal” (semi-vowels), yaitu [j], [w], dan [ลต] sebenarnya termasuk konsonan, tetapi kwalitasnya tidak hanya ditentukan oleh alur sempit “kedua” (yaitu alur sempit selain dari aluran di antara pita suara), tetapi juga oleh bangun mulut atau sikap mulut.

2.7  Beberapa Jenis Vokal

Ada beberapa cara untuk mengolong-golongkan bunyi-bunyi vokal:

1.      Menurut posisi lidah yang membentuk ruang resonansi, vokal-vokal di golong-golongkan atas: vokal depan (front vowels), vokal tengah (central vowels), dan vokal belakang (back vowels).

2.      Menurut posisi tinggi rendahnya lidah, vokal digolong-golongkan atas vokal tinggi (high vowels), vokal madya (mid vowels), dan vokal rendah (low vowels).

3.      Menurut peranan bibir, dapat kita bedakan antara vokal bundar (rounded vowels) dan vokal tak bundar (unrounded vowels).

4.      Menurut lamanya pengucapan vokal dengan mempertahankan posisi alat-alat bicara yang sama, vokal dapat kita golong-golongkan atas vokal panjang (long vowels) dan vokal pendek (short vowels). Lamanya itu sendiri disebut “kwantitas” (quantity).

5.      Menurut peranan rongga hidung kita bedakan antara vokal sengau (nasal vowels) dan vokal mulut atau vokal oral (oral vowels).

6

2.8  Vokal Rangkap Dua

Vokal rangkap dua atau diftong (diphthongs) terdiri dari dua bagian, yang pertama dengan posisi lidah lain dibandingkan dengan posisinya pada yang kedua.

Contoh: [ai] : balai, [au] : kerbau, [oi] : sekoi, dll

2.9  Tulisan Fonetis

Sistem tulisan fonetis yang paling lazim dipakai adalah sistem dari International Phonetic Association (IPA). Tulisan fonetik menekankan pada bunyi, tulisan yang melambangkan lambang bunyi yang diberi diakritik.

2.10          Klasifikasi Vokal Tunggal

Vokal-vokal tunggal (simple vowels) dapat diklasifikasikan dengan memperhatikan tinggi rendahnya dan posisinya dari belakang ke depan. Menurut para ahli fonetik vokal yang paling tinggi adalah yang paling depan pula dan yang paling kebelakang adalah yang paling rendah pula.

2.11          Klasifikasi Vokal Rangkap Dua

Vokal rangkap dua atau diftong (diphthongs) terdiri dari dua bagian, yaitu diftong naik dan diftong turun.

2.12          Klasifikasi Konsonan

Jenis konsonan yang diklasifikasikan yaitu letupan, paduan, sengau, sampingan, geseran, geletar, dan semi-vokal.

2.13          Suku Kata (Silabe)

Suku kata atau silabe (Inggris syllable, kata sifatnya syllabic, kata sifat Indonesia “silabis”) adalah satuan ritmis terkecil dalam urusan ujaran. Puncak ritme atau irama itu sama dengan kenyaringan atau sonopritas (Inggris sonority), yaitu pantulan suara yang dihasilkan, yang dimungkinkan oleh adanya ruang resonansi (resonance chamber).

7

2.14          Titinada

Dari sudut fonetik akustis semua bunyi adalah getaran udara, dan makin tinggi frekwensi getaran itu (lazimnya dihitung per detik), makin tinggi nada bunyi. Nada bunyi bahasa yang paling mudah ditangkap oleh alat pendengaran ialah nada bunyi yang dihasilkan dengan pembentukan alur sempit antara pita-pita suara, dan frekwensi getaran udara yang ditimbulkannya ditentukan oleh frekwensi getaran-getaran pita suara. Istilah Inggris untuk (titi) nada adalah pitch. Salah satu variasi titinada yang menyertai seluruh kalimat, atau bagian dari kalimat, adalah intonasi (intonation), atau lagu (melody).

2.15          Tekanan dan Aksen

Tekanan (Inggris stress) dan aksen (accent) sulit sekali dibedakan. Kesulitan tersebut terdapat dari sudut istilah-istilah, dan terdapat pula dalam fakta-fakta yang dinamai oleh istilah-istilah tersebut atau dengan perkataan lain, kesulitan tadi untuk sebagian adalah terminologis saja (“terminologi” = peristilahan) dan untuk sebagian berupa faktis, yaitu menyangkut fakta-fakta.

Tekanan, seperti halnya dengan nada, adalah relatif, tidak absolut. Ada dua jenis aksen: aksen yang terlaksana dengan tekanan (disebut “aksen tekan”, Inggris stress accent, sering juga disebut “aksen dinamis”); dan aksen yang terlaksana dengan nada (disebut “aksen nada”, Inggris pitch accent, sering juga disebut “aksen musikal”).

2.16          Asimilasi Fonetis

Yang dimaksud dengan asimilasi ialah saling pengaruh yang terjadi antara bunyi yang berdampingan (bunyi kontigu) atau antara yang berdekatan tetapi dengan bunyi lain di antaranya dalam ujaran (bunyi diskret). Istilah inggris untuk “asimilasi” adalah assimilation: istilah “asimilasi fonetis” tidak lazim dipakai, tetapi diberi nama itu di sini untuk membedakannya dari tiga jenis asimilasi yang lain.