Selasa, 31 Januari 2023

Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra

                                                                                

PEMBAHASAN

 

A.           Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra

Mulyasa (2003: 100) menyatakan pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara pembelajar dan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan kelas. Dengan kata lain adalah memilih model atau strategi pembelajaran untuk menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi siswa.Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan (judgment), arti penting atau suatu objek. Tujuannya agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ke ranah rasa (affective skill) yang dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu.

Apresiasi dari bahasa Inggris appreciation artinya ‘penghargaan’
Apresiasi mengacu pada pengertian, pemahaman, dan pengenalan yang tepat, atau pertimbangan dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti, 2000:3). Apresiasi adalah kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi, 1973). Apresiasi sastra: upaya memahami karya sastra untuk dapat mengerti sebuah karya sastra yang kita baca, baik prosa maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang intensional maupun yang aktual, dengan cara mengerti seluk beluknya.  Tahapan atau langkah untuk memahami karya sastra meliputi interpretasi, analisis, dan evaluasi.

Pembelajaran apresiasi sastra meliputi pembelajaran apresiasi puisi, prosa, dan drama. Ada beberapa prinsip dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pembelajaran sastra berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada budaya bangsa, (2) Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan pengayaan daya estetis melalui bahasa, (3) Pembelajaran apresiasi sastra bukan pelajaran sejarah, aliran, dan teori sastra, dan (4) Pembelajaran apresiasi sastra adalah pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan di dalam karya yang dapat dikaitkan dengan nilai kemanusiaan di dalam dunia nyata.

B.            Hakikat Teknik Pembelajaran

Teknik adalah cara konkret yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung. Guru dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama. Dalam menerapkan suatu metode pembelajaran, setiap guru memiliki teknik yang berbeda-beda. Subana dan Sunarti (2000:20) menyatakan bahwa teknik adalah daya upaya, usaha, cara yang digunakan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Muslich dan Suyono (2010:3), teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalnya, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah peserta didik yang relatif banyakmembutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah peserta didiknya terbatas. Jadi, teknik pembelajaran adalah cara yang digunakan guru dalam kelas untuk mengimplementasikan metode pembelajaran. Penggunaan teknik pada kelas tertentu akan berbeda dengan kelas lainnya meskipun metodenya sama. Penggunaan teknik pembelajaran harus disesuaikan dengan keadaan siswa dan sekolah.

Mohamad (2011:7) menyatakan bahwa teknik pembelajaran adalah jalan, alat atau media yang digunakan oleh guru untuk mengarahkan kegiatan peserta didik ke arah tujuan yang diinginkan atau dicapai. Dengan kata lain teknik adalah cara yang digunakan dan bersifat implementatif. Menurut Trianto (2011:52) model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang dapat digunakan untuk mendesain pola-pola mengajar secara tatap muka di dalam kelas dan untuk menentukan material/perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film-film, program-program media komputer. Dapat disimpulkan bahwa teknik sama dengan model yang berarti penggunaan perangkat/alat/media untuk mencapai tujuan pembelajaran.

C.           Berbagai Teknik Pembelajaran Apresiasi Sastra

 

1.       1. Teknik Induksi

Suatu teknik harus konsisten dengan metode dan sesuai pula dengan pendekatannya. Teknik berkaitan dengan strategi yang benar-benar terjadi di ruang kelas (Anthony, 1963; Baradja, 1985).

Suatu strategi yang efektif dan efisien akan tercipta bila strategi itu dapat dengan mudah diterapkan dan dapat menunjang prestasi belajar siswa yang memadai dan langgeng (Natawidjaja, 1983: 2). Keberartian sesuatu yang dipelajari siswa untuk dirinya sendiri itulah yang menentukan kadar kelanggengan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini peran serta aktif dari pihak siswa sendiri dalam kegiatan pembelajaran ikut berpengaruh terhadap keberartian bahan pembelajaran.

Jenis teknik belajar-mengajar dapat ditimbulkan dari metode tertentu (Broto, 1982: 23). Teknik merupakan pelaksanaan dari proses pembelajaran. Teknik biasanya ditandai dengan penggunakan alat bantu atau media tertentu yang diperlukan.

Pembelajaran sastra yang berangkat dari pendekatan apresiatif (appreciative approach) dan memilih metode imersi sebagai suatu alternatif, akhirnya menggiring kita untuk menentukan dan mengangkat satu teknik yang dirasa paling sesuai. Teknik induksi tampaknya sangat sesuai dan mendukung kegiatan ini.

Teknik induksi tidak hanya menuntut peran serta aktif siswa, tetapi lebih jauh daripada itu, mendorong dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk mendekati sendiri karya sastra, menggauli secara langsung, dan akhirnya diharapkan mampu menikmati, menghayati, dan menghargai karya sastra itu sendiri. Guru hanya bersifat merangsang, memancing, mendorong, dan mengarahkan kegiatan itu. Yang terjadi selama ini, tampaknya para guru sastra di lapangan cukup dengan membuat siswanya paham dan mengerti karya sastra melalui penjelasan atau informasi, tanpa ada kontak langsung siswa-karya. Siswa dijejali sekian banyak teori dan sejarah sastra. Dengan demikian, siswa banyak tahu dan paham (baca: hafal) pengetahuan sastra, tetapi tidak atau kurang mampu mengapresiasi karya. Tujuan utama pembelajaran sastra masih jauh dari terpenuhi. Kegiatan macam itu jelas kegiatan yang sangat tidak apresiatif.

Teknik induksi menghendaki lain. Siswa diberi kesempatan secara langsung bergaul intim dan berdialog dengan karya. Segala sesuatu yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa dalam pergaulan dan dialog biarlah ditemukan sendiri oleh siswa. Tentu saja, hal itu tidak terlepas sama sekali dari bimbingan guru. Yang penting guru tidak bersikap menggurui dan menyuapkan sesuatu yang tinggal telan saja. Tidaklah mungkin seseorang dapat merasakan kenikmatan sesuatu hanya dengan diberitahu orang lain tanpa melakukan kontak langsung secara intim dan berdialog akrab dengan sesuatu itu sendiri.

Penamaan induksi untuk teknik ini sesungguhnya meminjam istilah dari bidang logika. Seperti diketahui, terdapat dua cara penarikan kesimpulan, yaitu logika induktif dan logika deduktif (Suriasumantri, 1984: 46). Logika induktif – yang dipakai di sini — erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sebagai suatu proses tertentu, induksi berupaya menyimpulkan pengetahuan yang ’umum’ atau universal dari pengetahuan yang ’khusus’ atau partikular (Ofm, 1983: 40). Induksi merupakan cara berpikir dengan jalan menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.

Implikasinya dalam pembelajaran sastra, seperti sudah dikemukakan terdahulu, guru bertindak membimbing dan mengarahkan siswanya agar berhasil menemukan sendiri hal-hal khusus, ciri-ciri khusus, dan seterusnya, untuk kemudian dibimbing ke arah penarikan kesimpulan yang bersifat umum tentang karya sastra itu.

Sebagai ilustrasi, mengajarkan pantun, misalnya, teknik yang cenderung selalu digunakan para guru sebagai berikut. Pertama, guru memberikan pengertian, batasan, atau definisi pantun. Berikutnya diberikanlah ciri-ciri pantun atau mengapa bentuk itu disebut pantun. Akhirnya, disajikan contoh-contoh pantun. Langkah tersebut masih ditambah lagi dengan model penyajian dikte oleh guru. Langkah tersebut sangat tidak apresiatif, sehingga hasilnya pun berupa pengetahuan hafalan belaka.

Dengan teknik induksi yang merupakan pembalikan langkah-langkah tersebut di atas, siswa diberi kesempatan langsung berhadapan, berdialog, dan menikmati karya puisi lama itu. Dengan bimbingan guru siswa diajak mampu menemukan Ietak-letak keindahannya, ciri-ciri bentuknya, yang akhirnya sampai pada penyimpulan bahwa karya puisi itu adalah pantun.

Yang juga perlu diingat bahwa pembicaraan atau pembahasan tidak boleh hanya terbatas pada unsur bentuknya saja. Yang lebih penting justru pembahasan terhadap unsur isinya. Pembicaraan dapat saja berkisar pada pokok masalah yang diungkapkan, pendapat pengarang atau penyair tentang pokok masalah tersebut, perasaan, nada bicara, amanat yang terkandung, peristiwa yang dibayangkan terjadi di belakang karya, dan seterusnya.

Dalam pelaksanaannya dapat saja teknik induksi diramu dengan teknik-teknik yang lain, umpamanya brainstorming, diskusi, dan lain-lain yang relevan. Yang tetap harus diingat, guru tidak boleh lupa pada prinsip-prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Melaksanakan CBSA berarti guru melaksanakan suatu strategi pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara matra kognitif, afektif, dan psikomotorik (Natawidjaja, 1983: 19).

2.      2. Teknik Menjawab Pertanyaan

Menjawab pertanyaan mengenai isi bacaan sering sekali dipraktekkan dalam pengajaran bahasa. Hal ini pun dapat dilakukan dalam pengajaran sastra. Salah satu cara untuk mengukur pemahaman siswa terhadap suatu karya sastra ialah melalui jawaban siswa terhadap pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan isi karya sastra tersebut.

3.      Teknik Piranti Peran

Merespon karya sastra (cerpen) siswa membuat kantong yang di dalamnya berisi piranti untuk berperan. Di dalam kantong tersebut ada berbagai macam barang/alat yang telah dipilih dan dikumpulkan oleh siswa sehubungan dengan cerpen yang dibacanya. Kantong itu sendiri dibuat dan dihiasi siswa dengan gagasan atau aspek-aspek yang terdapat dalam cerpen tersebut. Guru menjelaskan bahwa kantong tersebut merupakan kantong contoh (sampel), tidak harus mencerminkan secara lengkap seluruh isi cerpen. Misalnya, dalam cuplikan cerpen anak-anak yang berjudul “Pak Lebai yang Malang”, (dari petualangan Pak Lebai). Siswa memilih tokoh Pak Lebai. Di dalam kantongnya, siswa itu menyimpan piranti, antara lain pancing atau kail, topi, rokok, kacamata, dan lain-lain.

Tujuannya :

1.   1) Siswa dapat membuat kantong dan dihiasi sesuai dengan gagasan atau aspek yang terdapat dalam cerpen.

2.      2) Siswa dapat memerankan tokoh cerita dengan cara monolog atau dialog.

 

Alat yang digunakan adalah lembar foto kopi cerita, lembar kertas kosong. Kegiatan ini dapat dilakukan secara berpasangan atau kelompok.

Cara menerapkannya:

1.      1) Guru memberikan pejelasan pembelajaran hari itu.

2.      2) Guru membentuk kelompok kecil

3.      3) Guru membagikan lembar foto kopi cerita kepada masing-masing kelompok.

4.      4) Siswa membaca cerpen yang berjudul “Pak Lebai yang Malang”.

5.     5) Siswa berdiskusi tentang latar belakang dan isi cerpen tersebut, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan:

a.       Nilai-nilai sosial budaya

b.      Segala sesuatu yang menarik yang dapat dipetik sebagi pelajaran hidup

6.     6) Siswa menyusun naskah atau scenario untuk memerankan salah satu tokoh cerita yang disenangi (dilakukan secara kelompok 4 siswa). Melalui diskus, kelompok dapat memilih salah satu anggota sebagai pemeran. Anggota lain membantu menyiapkan pemeranan, antara lain menyiapkan piranti. Pada kegiatan ini siswa melakukan identifikasi dan analisis terhadap semua kebutuhan (piranti) untuk bemain peran.

7.      7) Siswa berlatih bemain peran dengan anggota kelompok, pemeran berlatih hingga siap tampil di depan kelas.

8.     8) Siswa bermain di depan kelas secara bergiliran, ketika salah seorang siswa bermain peran, siswa yang lain menyimak dan mengamati sambil mencatat hal-hal yang menarik dari pemeranan itu. catatan ini akan digunakan oleh siswa untuk memberikan penilaian terhadap pemeranan teman sekelasnya.

9.     9) Siswa menyampaikan tanggapan, komentar atau penilaian terhadap penampilan temannya.

1010) Guru memberikan refleksi pembelejaran hari itu.

 

    Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut, dapat dijelaskan bahwa pentingnya strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru. Hal itu dapat mengenalkan guru pada tiga gaya belajar, yaitu gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Deporter (2001: 50) menyatakan bahwa ketiga gaya belajar tersebut dapat membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar yang ada. Setelah mengenal gaya-gaya tersebut, guru telah menunjukkan kepada siswa cara berkonsentrasi, mencatat hal-hal yang efektif, belajar untuk ujian, meningkatkan kecepatan membaca, pemahaman, dan kemampuan mereka untuk menghafalkan. Hal ini terbukti selama proses pembelajaran berlangsung. Sehingga langkah-langkah tersebut dapat berpengaruh pada karir akademik dan cara mereka melihat diri sendiri bagaimana kemampuan mereka sebagi siswa yang belajar sepanjang hidup. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar