Selasa, 31 Januari 2023

Sejarah Pertumbuhan, Kedudukan, dan Fungsi Bahasa Indonesia

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.                Sejarah Pertumbuhan Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia yang sekarang berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu digunakan oleh penuturnya secara alamiah, berkembang ke arah yang lebih modern sesuai dengan tuntutan zaman penuturnya. Bahasa Melayu dikembangkan secara terencana yang biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi, baik sebelum kemerdekaan maupun hingga sekarang.

Pertumbuhan bahasa Melayu yang diyakini menjadi bahasa Indonesia dapat dikemukakan dengan rumusan matematika, yaitu BM+bd+ba. Artinya, modal utama bahasa Indonesia sekarang adalah bahasa Melayu, kemudian diperkaya dengan sebagian bahasa daerah dan sebagian kecil sebagian kecil kosakata bahasa asing.

Dengan demikian, bahasa Indonesia sekarang adalah bahasa yang berkembang atau berasal dari bahasa melayu. Secara resmi pengikraran bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia telah dipatrikan melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Hal itu diungkapkan dengan ikrar ketiga pemuda dan pemudi Indonesia yang berbunyi: “kami poetera dan poeteri poeteri Indonesia mendjoenjoeng bahasa persaoean, bahasa Indonesia”. Keyakinan banyak orang tentang bahasa Indonesia yang dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan, seperti yang diikrarkan tersebut adalah bahasa melayu yang telah menjadi bahasa persatuan pada masa itu di sebagian besar wilayah Nusantara.

Diungkapkan Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun1939 di Solo seperti berikut ini.

            Jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoepoen pokonja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’ akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe dikoerangi menoroet keperloean zaman dan alam aharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesiaitoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia”.

            Ada tiga faktor pendukung keberterimaan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia pada Sumpah Pemuda 1928:

 

1.                  Faktor Luasnya Pemakaian Bahasa Melayu

            Faktor pendukung pertama keberterimaan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah faktor luasnya pemakaian bahasa Melayu terutama di wilayah perdagangan Nusantara. Ditilik dari faktor penggunaan bahasa Melayu sebelum berterima sebagai bahasa Indonesia, ternyata selama berabad-abad sebelum abad kedua puluh telah dipakai sebagai bahasa perantara. Halim menjelaskan bahwa penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara, yakni bahasa Melayu Kuno telah dipakai tidak saja sebagai bahasa resmi, tetapi juga sebagai bahasa perantar umum di zaman Sriwijaya. Halim juga mencatat bukti-bukti peninggalan masa lalu, di antaranya prasasti-prasasti kuno di sekitar Palembang, Bangka, dan Sungai Merangin di Sumatera yang ternyata tertulis dalam bahasa Melayu Kuno.

            Beberapa prasasti pemerkuat keyakinan banyak ahli bahwa bahasa Melayu Kuno telah dipakai jauh sebelumnya, sebelum masa Sumpah Pemuda adalah:

1)    Prasasti Kedukan Bukit pada tahun683

2)    Prasasti Talang Tuo pada tahun 684

3)    Prasasti Kota Kapur pada tahun 686

4)    Prasasti Karang Berahi pada tahun 686

5)    Prasasti Gandasuli pada tahun 832

6)    Prasasti Bogor pada tahun 942

7)    Prasasti Pagaruyung pada tahun 1356.

            Bahasa Melayu merupakan bahasa yang melambangkan prestise dan status sosial budaya yang tinggi bagi pemakainya. Setelah kejatuhan Kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perdagangan yang kegiatan perdagangan berpindah ke Malaka. Bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan tidak saja dipakai oleh pedagang-pedagang Indonesia dan asing, tetapi juga digunakan antar pedagang yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda bahasanya.

 

2.                  Faktor Berterimanya Penggunaan Bahasa Melayu dalam Sastra

            Faktor keberterimaan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah telah banyaknya penggunaan bahasa Melayu, baik bahasa Melayu tinggi maupun bahasa Melayu rendah, dalam karya sastra. Rosidi mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19 telah banyak karya sastra menggunakan bahasa Melayu yang ditulis oleh orang-orang yang berasal dari luar kepulauan Riau Sumatera.

            Dalam perkembangannyapada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 banyak roman mengisahkan kehidupan nyata sehari-hari dan dimuat dalam surat kabar menggunakan bahasa Melayu rendah atau bahasa pergaulan sehari-hari. Awal perkembangan kesusastraan nasional Indonesia dihitung sejak 1920 ketika penerbit Balai Pustaka pertama kali menerbitkan Roman dengan menggunakan bahasa Melayu tinggi yang berjudul Ajab dan Sengsara karya Merari Siregar.

 

3.                  Faktor Penggunaan Bahasa Melayu dalam Persuratkabaran.

Faktor keberterimaan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah faktor telah digunakannya Bahasa Indonesia yang diperkaya oleh kosakata bahasaakannya bahasa Melayu dalam persuratkabaran di Nusantara. Rosidi mengungkapkan bahwa pada akhir abad ke-19 bayak surat kabar yang dicetak dengan menggunakan bahasa Melayu. Eksistensi bahasa Melayu sejak masa kejayaan Sriwijaya hingga Sumpah Pemuda 1928 telah diakui , baik oleh masyarakat pribumi di Nusantara.

Pemerkaya kosakata bahasa Indonesia oleh kosakata bahasa daerah dan bahasa asing, diantaranya:

a.         Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Sanskerta seperti negara, agama, neraka, sorga, raja, bangsa, singgasana, sengsara, dewa, pujangga, duka, bahasa, putra, saudara, dan anugerah.

b.        Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Jawa, seperti tempe, rampung, mepet, lugu, dan lestari

c.         Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Banjar seperti gambut.

d.        Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa (daerah) Papua, seperti koteka.

e.         Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Batak, seperti horas.

f.         Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Minangkabau, seperti imbau, rendang, kumuh, datuk.

g.        Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Palembang, seperti mpek-mpek dan mantan.

h.        Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Arab, seperti shalat, imam, makmum, akhlak, akhir, akhirat, arwah, ilmu, infak, dan makmur.

i.          Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Belanda, seperti asisten, advokad, arsip,profinsi, dan mesinis.

j.          Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Inggris, seperti analisis, sintesis, hipotesis, struktur, instruktur, dan abstrak.

k.        Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Portugis, seperti sepatu, celana, lentera, dan jendela.

l.          Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Tamil, seperti slogan, materai, dan pualam.

m.      Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Perancis, seperti salut dan trotoar.

n.        Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Parsi, seperti peduli dan kenduri.

o.        Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa China, seperti bakwan, bakso, bakmi, tauco, dan tauge.

p.        Bahasa Indonesia diperkaya oleh kosakata bahasa Jepang, seperti samurai, karate, judo, dan kimono.

 

B.                 Kedudukan Bahasa Indonesia

            Berdasarkan kedudukannya dapat diuraikan fungsinya masing-masing.

1)                  Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional

            Kedudukan itu melekat sejak sumpah pemuda pada 1928 dengan ikrar yang berbunyi menjoenjoeng tinggi bahasa persatoean bahasa Indonesia. Sejak 28 Oktober 1928 secara resmi telah diakui adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional.

2)                  Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara

            Seiring dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang mardeka pada 17 Agustus 1945, sehari sesudahnya, yaitu pada 18 Agustus 1945 diakui keberadaan bangsa Indonesia sebagai bahasa negara. Kedudukan itu termaktub dalam pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi Bahasa negara adalah bahasa Indonesia.

 

C.                Fungsi Bahasa Indonesia

1.                  Empat Fungsi Bahasa Indonesia dalam Kedudukannya sebagai Bahasa Nasional

a.         Sebagai lambang kebanggaan nasional. Banhsa Indonesia memang unik karena terdiri dari berbagai etnis dan berbagai bahasa daerah.

b.        Sebagai lambang identitas nasional. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai etnis atau suku bangsa. Dengan kondisi bangsa Indonesia yang beragam itu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang identitas nasional.

c.         Sebagai alat pemersatu berbagai suku bangsa. Hal ini berarti bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat yang memungkinkan penyatu berbagai-bagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia.

d.        Bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat perhubungan antar daerah dan antar budaya. Jika bangsa kita tidak memiliki satu bahasa Nasional, permasalahan utama yang pasti akan muncul adalah hambatan komunikasi di antara suku bangsa.

2.             Empat Fungsi Bahasa Indonesia dalam Kedudukannya sebagai Bahasa Negara

a.         Sebagai bahasa resmi kenegaraan. Seluruh kegiatan kenegaraan dan penyelenggaraan kenegaraan di Indonesia harus menggunakan negara Indonesia.

b.        Sebagai bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan.

c.         Sebagai alat penghubung pada tingkat nasionaluntuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah.

d.        Sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

 

D.                Ragam Bahasa Indonesia

            Ragam bahasa Indonesia pada hakikatnya adalah variasi penggunaan bahasa oleh para penutur bahasa itu. Keberadaan bahasa resmi (baku) dalam penggunaan bahasa Indonesia oleh para penuturnya merupakan salah satu bentuk bahasa dari variasi bahasa Indonesia lainnya.Bahasa Indonesia resmi digunakan pada tempat atau suasana yang resmiatau hal lain yang menjadi alasan digunakannya bahasa resmi tersebut.

            Ragam bahasa Indonesia dibedakan Alwi(dalam Ermanto & Emidar, 2012: 11) berdasarkan penutur bahasa dan berdasarkan jenis pemakaian bahasa. Ragam bahasa Indonesia berdasarkan penutur diperinci menurut tinjauan: (1) daerah, (2) pendidikan dan  (3) sikap penutur. Ragam bahasa Indonesia berdasarkan jenis pemakaian bahasa diperinci menurut tinjauan: (1) bidang/ pokok persoalan, (2) sarananya dan (3) gangguan percampuran.

 

1.                  Berdasarkan Daerah Asal Penutur

            Ditinjau berdasarkan daerah asal penutur, bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang Indonesia memiliki variasi atau ragam. Ragam bahasa Indonesia dari sudut daerah penutur ini sering disebut dengan logat. Dengan demikian, akan terdapat beberapa ragam bahasa Indonesia, yakni bahasa Indonesia logat Batak, logat Minangkabau, logat Jawa, dan sebagainya.

2.                  Berdasarkan Pendidikan Penutur

            Berdasarkan sudut pandang pendidikan penuturnya, bahasa Indonesia dibedakan atas beberapa ragam atau variasi. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang berpendidikan berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tidak berpendidikan.

 

 

3.                  Berdasarkan Sikap Penutur

Ragam bahasa Indonesia menurut sikap penutur disebut dengan langgam atau gaya. Oleh karena itu,bahasa Indonesia yang digunakan para penutur berdasarkan sikapnya dapat dibedakan atas beberapa macam, yakni bahasa Indonesia ragam resmi, ragam akrab, ragam santai, dan sebagainya.

4.                  Berdasarkan Pokok Persoalan

            Bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang militer telah memperlihatkan kekhasannya atau berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang kedokteran. Penggunaan istilah operasi dalam bidang kedokteran akan berbeda dengan penggunaan istilah operasi  bidang militer. Jadi ragam bahasa menurut pokok persoalan dibedakan atas ragam bahasa di bidang agama, politik, militer, teknik, kedokteran, seni, dan sebagainya.

5.                  Berdasarkan Sarana

            Berdasarkan sarananya, dapat dibedakan atas ragam bahasa Indonesia lisan dan ragam bahasa Indonesia tulis. Bahasa Indonesia lisan masing-masing  memiliki variasi dengan bahasa Indonesia tulis. Tidak semua bahasa Indonesia yang dilisan sebagai ragam lisan karena mungkin yang lisan itu pada hakikatnya adalah bahasa Indonesia ragam tulis. Hal itu terjadi disebabkan oleh bahasa Indonesia ragam tulis yang dilisankan, seperti dalam berita radio, pembaca naskah, dan pidato dengan menggunakan naskah.

            Lyons(dalam Ermanto & Emidar, 2012: 13) mengemukakan bahwa secara mendasar perbedaan ragam lisan dan bahasa ragam tulis terlihat pada ciri: (1) perbedaan tingkat pementingan unsur gramatikal, leksikal, prosodi, dan paralingual; (2) perbedaan kelengkapan unsur dan (3) ada tidaknya sifat kespontanan.

6.                  Berdasarkan Gangguan Percampuran

            Bahasa Indonesia berdasarkan pemakainya telah memperlihatkan adanya ragam yang mengalami percampuran dengan bahasa asing dan ragam yang tidak mengalami percampuran. Hal itu terlihat apabila bahasa Indonesia digunakan oleh para penuturnya terutama penutur ditingkat atas. Oleh karena itu, pada dasarnya bahasa Indonesia dapat dibedakan atas ragam bahasa Indonesia yang tidak mengalami percampuran.

Ragam bahasa menurut Sudaryanto (dalam Ermanto & Emidar, 2012:14) yakni:

1)        Bahasa Indonesia ragam jurnalistik.

2)        Bahasa Indonesia ragam literer.

3)        Bahasa Indonesia ragam filosofik.

4)        Bahasa Indonesia ragam akademik.

5)        Bahasa Indonesia ragam bisnis.

            Kepolosan merupakan alas utama ragam jurnalistik dengan menggunakan daya lugasmenginformasikan fakta. Ragam literer atau ragam sastra dengan alasa utamaragam jurnalistik dengan menggunakan daya kejut mengimajinasikan. Ragam bisnis menggunakan alas keramahan dengan daya jerat menyugesti.


DAFTAR PUSTAKA

 

Ermanto dan Emidar. 2012. Bahasa Indonesia: Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Padang: UNP Press


Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra

                                                                                

PEMBAHASAN

 

A.           Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra

Mulyasa (2003: 100) menyatakan pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara pembelajar dan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan kelas. Dengan kata lain adalah memilih model atau strategi pembelajaran untuk menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi siswa.Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan (judgment), arti penting atau suatu objek. Tujuannya agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ke ranah rasa (affective skill) yang dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu.

Apresiasi dari bahasa Inggris appreciation artinya ‘penghargaan’
Apresiasi mengacu pada pengertian, pemahaman, dan pengenalan yang tepat, atau pertimbangan dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti, 2000:3). Apresiasi adalah kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi, 1973). Apresiasi sastra: upaya memahami karya sastra untuk dapat mengerti sebuah karya sastra yang kita baca, baik prosa maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang intensional maupun yang aktual, dengan cara mengerti seluk beluknya.  Tahapan atau langkah untuk memahami karya sastra meliputi interpretasi, analisis, dan evaluasi.

Pembelajaran apresiasi sastra meliputi pembelajaran apresiasi puisi, prosa, dan drama. Ada beberapa prinsip dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pembelajaran sastra berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada budaya bangsa, (2) Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan pengayaan daya estetis melalui bahasa, (3) Pembelajaran apresiasi sastra bukan pelajaran sejarah, aliran, dan teori sastra, dan (4) Pembelajaran apresiasi sastra adalah pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan di dalam karya yang dapat dikaitkan dengan nilai kemanusiaan di dalam dunia nyata.

B.            Hakikat Teknik Pembelajaran

Teknik adalah cara konkret yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung. Guru dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama. Dalam menerapkan suatu metode pembelajaran, setiap guru memiliki teknik yang berbeda-beda. Subana dan Sunarti (2000:20) menyatakan bahwa teknik adalah daya upaya, usaha, cara yang digunakan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Muslich dan Suyono (2010:3), teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalnya, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah peserta didik yang relatif banyakmembutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah peserta didiknya terbatas. Jadi, teknik pembelajaran adalah cara yang digunakan guru dalam kelas untuk mengimplementasikan metode pembelajaran. Penggunaan teknik pada kelas tertentu akan berbeda dengan kelas lainnya meskipun metodenya sama. Penggunaan teknik pembelajaran harus disesuaikan dengan keadaan siswa dan sekolah.

Mohamad (2011:7) menyatakan bahwa teknik pembelajaran adalah jalan, alat atau media yang digunakan oleh guru untuk mengarahkan kegiatan peserta didik ke arah tujuan yang diinginkan atau dicapai. Dengan kata lain teknik adalah cara yang digunakan dan bersifat implementatif. Menurut Trianto (2011:52) model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang dapat digunakan untuk mendesain pola-pola mengajar secara tatap muka di dalam kelas dan untuk menentukan material/perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film-film, program-program media komputer. Dapat disimpulkan bahwa teknik sama dengan model yang berarti penggunaan perangkat/alat/media untuk mencapai tujuan pembelajaran.

C.           Berbagai Teknik Pembelajaran Apresiasi Sastra

 

1.       1. Teknik Induksi

Suatu teknik harus konsisten dengan metode dan sesuai pula dengan pendekatannya. Teknik berkaitan dengan strategi yang benar-benar terjadi di ruang kelas (Anthony, 1963; Baradja, 1985).

Suatu strategi yang efektif dan efisien akan tercipta bila strategi itu dapat dengan mudah diterapkan dan dapat menunjang prestasi belajar siswa yang memadai dan langgeng (Natawidjaja, 1983: 2). Keberartian sesuatu yang dipelajari siswa untuk dirinya sendiri itulah yang menentukan kadar kelanggengan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini peran serta aktif dari pihak siswa sendiri dalam kegiatan pembelajaran ikut berpengaruh terhadap keberartian bahan pembelajaran.

Jenis teknik belajar-mengajar dapat ditimbulkan dari metode tertentu (Broto, 1982: 23). Teknik merupakan pelaksanaan dari proses pembelajaran. Teknik biasanya ditandai dengan penggunakan alat bantu atau media tertentu yang diperlukan.

Pembelajaran sastra yang berangkat dari pendekatan apresiatif (appreciative approach) dan memilih metode imersi sebagai suatu alternatif, akhirnya menggiring kita untuk menentukan dan mengangkat satu teknik yang dirasa paling sesuai. Teknik induksi tampaknya sangat sesuai dan mendukung kegiatan ini.

Teknik induksi tidak hanya menuntut peran serta aktif siswa, tetapi lebih jauh daripada itu, mendorong dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk mendekati sendiri karya sastra, menggauli secara langsung, dan akhirnya diharapkan mampu menikmati, menghayati, dan menghargai karya sastra itu sendiri. Guru hanya bersifat merangsang, memancing, mendorong, dan mengarahkan kegiatan itu. Yang terjadi selama ini, tampaknya para guru sastra di lapangan cukup dengan membuat siswanya paham dan mengerti karya sastra melalui penjelasan atau informasi, tanpa ada kontak langsung siswa-karya. Siswa dijejali sekian banyak teori dan sejarah sastra. Dengan demikian, siswa banyak tahu dan paham (baca: hafal) pengetahuan sastra, tetapi tidak atau kurang mampu mengapresiasi karya. Tujuan utama pembelajaran sastra masih jauh dari terpenuhi. Kegiatan macam itu jelas kegiatan yang sangat tidak apresiatif.

Teknik induksi menghendaki lain. Siswa diberi kesempatan secara langsung bergaul intim dan berdialog dengan karya. Segala sesuatu yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa dalam pergaulan dan dialog biarlah ditemukan sendiri oleh siswa. Tentu saja, hal itu tidak terlepas sama sekali dari bimbingan guru. Yang penting guru tidak bersikap menggurui dan menyuapkan sesuatu yang tinggal telan saja. Tidaklah mungkin seseorang dapat merasakan kenikmatan sesuatu hanya dengan diberitahu orang lain tanpa melakukan kontak langsung secara intim dan berdialog akrab dengan sesuatu itu sendiri.

Penamaan induksi untuk teknik ini sesungguhnya meminjam istilah dari bidang logika. Seperti diketahui, terdapat dua cara penarikan kesimpulan, yaitu logika induktif dan logika deduktif (Suriasumantri, 1984: 46). Logika induktif – yang dipakai di sini — erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sebagai suatu proses tertentu, induksi berupaya menyimpulkan pengetahuan yang ’umum’ atau universal dari pengetahuan yang ’khusus’ atau partikular (Ofm, 1983: 40). Induksi merupakan cara berpikir dengan jalan menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.

Implikasinya dalam pembelajaran sastra, seperti sudah dikemukakan terdahulu, guru bertindak membimbing dan mengarahkan siswanya agar berhasil menemukan sendiri hal-hal khusus, ciri-ciri khusus, dan seterusnya, untuk kemudian dibimbing ke arah penarikan kesimpulan yang bersifat umum tentang karya sastra itu.

Sebagai ilustrasi, mengajarkan pantun, misalnya, teknik yang cenderung selalu digunakan para guru sebagai berikut. Pertama, guru memberikan pengertian, batasan, atau definisi pantun. Berikutnya diberikanlah ciri-ciri pantun atau mengapa bentuk itu disebut pantun. Akhirnya, disajikan contoh-contoh pantun. Langkah tersebut masih ditambah lagi dengan model penyajian dikte oleh guru. Langkah tersebut sangat tidak apresiatif, sehingga hasilnya pun berupa pengetahuan hafalan belaka.

Dengan teknik induksi yang merupakan pembalikan langkah-langkah tersebut di atas, siswa diberi kesempatan langsung berhadapan, berdialog, dan menikmati karya puisi lama itu. Dengan bimbingan guru siswa diajak mampu menemukan Ietak-letak keindahannya, ciri-ciri bentuknya, yang akhirnya sampai pada penyimpulan bahwa karya puisi itu adalah pantun.

Yang juga perlu diingat bahwa pembicaraan atau pembahasan tidak boleh hanya terbatas pada unsur bentuknya saja. Yang lebih penting justru pembahasan terhadap unsur isinya. Pembicaraan dapat saja berkisar pada pokok masalah yang diungkapkan, pendapat pengarang atau penyair tentang pokok masalah tersebut, perasaan, nada bicara, amanat yang terkandung, peristiwa yang dibayangkan terjadi di belakang karya, dan seterusnya.

Dalam pelaksanaannya dapat saja teknik induksi diramu dengan teknik-teknik yang lain, umpamanya brainstorming, diskusi, dan lain-lain yang relevan. Yang tetap harus diingat, guru tidak boleh lupa pada prinsip-prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Melaksanakan CBSA berarti guru melaksanakan suatu strategi pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara matra kognitif, afektif, dan psikomotorik (Natawidjaja, 1983: 19).

2.      2. Teknik Menjawab Pertanyaan

Menjawab pertanyaan mengenai isi bacaan sering sekali dipraktekkan dalam pengajaran bahasa. Hal ini pun dapat dilakukan dalam pengajaran sastra. Salah satu cara untuk mengukur pemahaman siswa terhadap suatu karya sastra ialah melalui jawaban siswa terhadap pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan isi karya sastra tersebut.

3.      Teknik Piranti Peran

Merespon karya sastra (cerpen) siswa membuat kantong yang di dalamnya berisi piranti untuk berperan. Di dalam kantong tersebut ada berbagai macam barang/alat yang telah dipilih dan dikumpulkan oleh siswa sehubungan dengan cerpen yang dibacanya. Kantong itu sendiri dibuat dan dihiasi siswa dengan gagasan atau aspek-aspek yang terdapat dalam cerpen tersebut. Guru menjelaskan bahwa kantong tersebut merupakan kantong contoh (sampel), tidak harus mencerminkan secara lengkap seluruh isi cerpen. Misalnya, dalam cuplikan cerpen anak-anak yang berjudul “Pak Lebai yang Malang”, (dari petualangan Pak Lebai). Siswa memilih tokoh Pak Lebai. Di dalam kantongnya, siswa itu menyimpan piranti, antara lain pancing atau kail, topi, rokok, kacamata, dan lain-lain.

Tujuannya :

1.   1) Siswa dapat membuat kantong dan dihiasi sesuai dengan gagasan atau aspek yang terdapat dalam cerpen.

2.      2) Siswa dapat memerankan tokoh cerita dengan cara monolog atau dialog.

 

Alat yang digunakan adalah lembar foto kopi cerita, lembar kertas kosong. Kegiatan ini dapat dilakukan secara berpasangan atau kelompok.

Cara menerapkannya:

1.      1) Guru memberikan pejelasan pembelajaran hari itu.

2.      2) Guru membentuk kelompok kecil

3.      3) Guru membagikan lembar foto kopi cerita kepada masing-masing kelompok.

4.      4) Siswa membaca cerpen yang berjudul “Pak Lebai yang Malang”.

5.     5) Siswa berdiskusi tentang latar belakang dan isi cerpen tersebut, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan:

a.       Nilai-nilai sosial budaya

b.      Segala sesuatu yang menarik yang dapat dipetik sebagi pelajaran hidup

6.     6) Siswa menyusun naskah atau scenario untuk memerankan salah satu tokoh cerita yang disenangi (dilakukan secara kelompok 4 siswa). Melalui diskus, kelompok dapat memilih salah satu anggota sebagai pemeran. Anggota lain membantu menyiapkan pemeranan, antara lain menyiapkan piranti. Pada kegiatan ini siswa melakukan identifikasi dan analisis terhadap semua kebutuhan (piranti) untuk bemain peran.

7.      7) Siswa berlatih bemain peran dengan anggota kelompok, pemeran berlatih hingga siap tampil di depan kelas.

8.     8) Siswa bermain di depan kelas secara bergiliran, ketika salah seorang siswa bermain peran, siswa yang lain menyimak dan mengamati sambil mencatat hal-hal yang menarik dari pemeranan itu. catatan ini akan digunakan oleh siswa untuk memberikan penilaian terhadap pemeranan teman sekelasnya.

9.     9) Siswa menyampaikan tanggapan, komentar atau penilaian terhadap penampilan temannya.

1010) Guru memberikan refleksi pembelejaran hari itu.

 

    Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut, dapat dijelaskan bahwa pentingnya strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru. Hal itu dapat mengenalkan guru pada tiga gaya belajar, yaitu gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Deporter (2001: 50) menyatakan bahwa ketiga gaya belajar tersebut dapat membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar yang ada. Setelah mengenal gaya-gaya tersebut, guru telah menunjukkan kepada siswa cara berkonsentrasi, mencatat hal-hal yang efektif, belajar untuk ujian, meningkatkan kecepatan membaca, pemahaman, dan kemampuan mereka untuk menghafalkan. Hal ini terbukti selama proses pembelajaran berlangsung. Sehingga langkah-langkah tersebut dapat berpengaruh pada karir akademik dan cara mereka melihat diri sendiri bagaimana kemampuan mereka sebagi siswa yang belajar sepanjang hidup.